MENGAPA GURU HARUS DIPENJARA??
Merah padam wajah Nanang GP mendengar laporan anaknya. Nanang Gagah Perkasa begitu nama lengkapnya, tak bisa menahan emosi begitu dapat laporan anak pertamanya bernama Iran yang masih duduk di bangku kelas dua es em pe.
"Aku dijewer Pak Guru, Bah." begitu Misransyah Wani Hayat, anak Nanang yang biasa disapa Iran Weha yang pulang sekolah belum saatnya.
"Apa salahmu?" tanya ayahnya yang oleh Iran dipanggil 'abah'.
"Aku tidak tahu. Aku duduk di belakang WC. Tiba-tiba guru datang langsung menjewer saya dan dua orang teman saya." kata Iran Weha.
"Siapa nama gurumu itu?"
"Badri, Bah".
Tanpa ba bi bu, Nanang mengambil kunci sepeda motornya dan menghidupkannya dan menarik gasnya dan suara knalpotnya memecah keheningan kampung yang damai ini.
"Apa haknya guru itu menjewer kuping anakku. Aku saja, ayahnya, tidak pernah melakukannya. Tugas guru itu mengajar. Bukan menjewer. Awas kau." gemuruh dada Nanang. Ia tak terima anaknya diperlukan demikian.
"Ini bukan pendidikan jaman Belanda. Ini bukan jamannya anak nakal harus dijewer, ditendang atau dipukul dengan rotan. Enak saja! Tunggu kau." kata Nanang bersungut-sungut.
Tak lama kemudian sampailah Nanang di depan sekolah anaknya. Setelah memarkir sepeda motornya, ia langsung berteriak.
"Mana Badri! Mana! Keluar! Jangan anakku yang dihajar. Ni, sekalian bapaknya saja. Badri, keluar kamu!".
Teriakan Nanang tentu saja membuat gempar sekolah. Guru-guru keluar. Kepala sekolah juga keluar. Mereka sudah sering menghadapi orang tua murid yang 'ngamuk' karena urusan anaknya. Ada yang karena anaknya disuruh pulang, orang tuanya tak terima. Bukankah anaknya harus sekolah lalu mengapa dipulangkan?
Ada pula orang tua yang marah karena anaknya tidak naik kelas. Ada orang tua yang marah karena di rapor anaknya tertulis anaknya bolos atau tidak hadir 11 hari. Padahal orang tuanya tahu bahwa anaknya tak sehari pun sakit. Tak seharipun tidak masuk sekolah. Artinya, wali kelasnya tidak cermat.
Badri masih berteriak-teriak di halaman sekolah. Beberapa guru kemudian keluar. Anak-anak muridnya tidak boleh ada yang meninggalkan ruangan.
Seorang guru, maaf agak pincang kakinya, kemudian menghampiri Nanang dan membujuknya agar masuk ke ruang Dewan Guru.
"Assalamualaikum", kata guru itu.
" Waalaikum salam. Bapak guru Badri kah? Yang mana guru Badri. Saya mau bertemu."
"Saya Muhammad, Pak. Boleh, Pak. Beliau ada di ruang guru. Mari, Pak. Panas di sini." kata guru itu sambil meraih pundak Nanang.
Nanang sebenarnya tidak mau ikut ke ruang dewan guru. Ia tahu, ia pasti kalah beradu mulut bahkan beradu tenaga jika di ruang guru. Namun karena diajak untuk menyelesaikannya baik-baik di ruang guru, apalagi diajak oleh guru yang pincang ini, tak sampai hati juga ia menolaknya.
Tiba di ruang dewan guru, Nanang bersyukur karena ruang itu kosong. Ia baru sadar ini memang masih jam belajar.
Guru itu kemudian menyuguhkan teh kepada Nanang. Kebetulan pula ada pisang goreng.
"Minumlah dulu, Pak. Rejeki pantang ditolak."
"Saya kemari mencari guru Badri. Guru kampungan itu. Saya mau selesaikan mengapa dia menjewer anak saya yang tidak salah." ujar Nanang masih emosi.
"Baik, Pak. Saya akan pertemukan Bapak dengan guru Badri. Guru kampungan itu. Memang Beliau urang kampung, Pak. Orang kampung yang seperti itu kalau jadi guru, bikin masalah saja. Tapi minumlah dulu, Pak. Hari ini saya beruntung, Pak Nanang. Hari ini ulang tahun saya. Ini pisang goreng khusus ulang tahun saya. Yang buat ibu-ibu guru. Santaplah, Pak."
Akhirnya Nanang menyantap juga pisang goreng itu. Nyaman. Kata Nanang dalam hati.
"Tadi Pak Muhammad bilang, guru Badri itu orang kampung. Orang kampung mana dia?" tanya Nanang menyelidik.
"Ini yang saya tahu, Pak ya, guru Badri itu orang pedalaman. Long Iram. Pak Nanang pernah ke sana?"
"Saya tidak pernah ke mana-mana, Pak Muhammad."
"Kalau pakai kapal, dua hari Pak baru sampai. Pak Badrie itu memang sering buat masalah di sekolah ini. Dia itu kuli bangunan Pak. Banyak orang tua murid komplain dan marah-marah."
"Kuli kok jadi guru?"
"Waktu kuliah dulu, dia sambil nguli, Pak. Digaji berapa saja sama mandor dia mau, asalkan jam kerjanya bisa longgar karena dia sambil kuliah. Maklumlah Pak, guru Badrie itu sejak kecil Yatim piyatu. Mungkin karena waktu kuliah sambil jadi kuli itulah maka sering kasar pada muridnya."
"Mengapa tidak diberhentikan saja atau dipindah?"
"Masalahnya kepala sekolah selalu berpihak sama dia, Pak."
"Wah bisa rusak sekolah ini. Kepala sekolahnya mempertahankan guru kurang ajar itu."
"Bapak tahu mengapa anak Bapak dijewer oleh guru Badri?"
"Anak saya bilang, dia tidak ada salahnya."
"Anak Bapak bernama Misransyah Wani Hayat, kan?"
Nanang mengangguk.
"Misransyah itu sudah 4 kali tidak masuk sekolah. Bapak tahu?"
Nanang menggeleng.
"Bapak tahu Misransyah tidak ikut praktek sholat Dzuhur sudah 3 kali? Bapak tahu dia menyembunyikan tas temannya sampai temannya menangis karena dalam tas itu ada uang untuk bayar buku di koperasi sekolah? Bapak tahu dia pernah mengolok ibu guru? Bapak tahu, anak Bapak itu telah dua berkelahi dengan anak kelas lain? Dan tadi pagi, bapak diberi tahu tidak oleh anak Bapak bahwa dia merokok bersama dua temannya di belakang WC?"
"Tidak pernah ada laporan. Saya tidak tahu."
"Prosedur di sekolah ini, surat panggilan kepada orang tua dititipkan kepada anak, Pak. Itu untuk mendidik anak agar jujur dan berani bertanggungjawab. Bapak tidak menerima surat panggilan itu, kan?"
Nanang mengangguk. Perasaannya kacau balau. Kalau apa yang dikatakan Pak Muhammad ini benar, maka wajar saja anaknya dijewer.
"Kok Bapak tahu semua tentang anak saya?"
"Saya wali kelasnya, Pak. Saya yang menitipkan surat panggilan untuk Bapak. Saya minta agar Misransyah menyampaikan surat itu ke Bapak. Tadi pagi anak Bapak buat ulah lagi, dia menempelkan sisa bombon karet di kursi guru. Dia saya panggil. Pertama, saya tanya apakah surat sudah diterima ayahnya? Dia menggeleng. Dia bilang suratnya hancur kena hujan. Lalu saya tanya mengapa meletakkan sisa bombon karet di kursi yang akan diduduki gurunya? Dia tidak menjawab. Maka saya jewer kupingnya."
"Jadi bapak.....pak Badrie?"
"Nama saya Muhammad Yatim Badriansyah. Kuli yang jadi guru. Gara-gara nguli, saya jatuh dari bangunan dan kaki saya cidera sampai sekarang."
Nanang tak bisa bicara apa-apa. Ia malu. Anak yang dibelanya ternyata memang harus banyak 'diajar'. Ia meraih tangan guru Badri. Ia menciumnya. Ia meminta maaf atas khilafnya. Ia berjanji akan menampar anaknya dan mengurungnya di WC dari pagi sampai sore.
"Bapak tidak boleh melakukan itu. Itu menyakitkan. Kalau Bapak mau menghukumnya, jewer saja telinganya. Jangan kuat-kuat. Pelan-pelan saja, tapi di depan rumah biar banyak yang menyaksikan. Seperti saya, saya menjewernya pelan-pelan saja, tapi di depan temannya."
Nanang mengangguk.
"Namun, kalau bisa, jangan dijewer, Pak. Kasian, tadi pagi saya sudah menjewernya. Cukup Bapak peluk saja dan tanyakan pada Misransyah, apakah dia menyayangi bapak dan ibunya? Kalau dia bilang ya, maka berilah nasihat bahwa dia dilahirkan dan dibesarkan untuk dirinya bukan untuk bapak ibunya. Dan harus menghargai kelahirannya, pengasuhannya dan cinta ayah-ibunya. Mudah-mudahan Bapak mengerti maksud saya."
Nanang pamit. Ia meminta maaf sekali lagi pada guru Badri atas kelakuan anaknya dan sikapnya yang emosional tadi. Ia berterima kasih atas suguhan tadi dan tak lupa menyampaikan selamat ulang tahun.
Di jalan pulang, ia bertemu mentor. Ia ceritakan kejadian yang telah menimpanya. Mentor tersenyum.
"Kukira kamu ke sekolah anakmu untuk memberhentikan anakmu dari sekolah itu dan anakmu akan kamu ajari sendiri di rumah dengan berbagai mata pelajaran itu." ujar mentor.
Nanang paham maksud mentor. Ia menyeka matanya. Ia tahu, betapa ia abai terhadap pendidikan anaknya. ***
0 comments:
Post a Comment